Ahad, 24 April 2011

Ekonomi Syariah Dengan Akad Musyarakah


Ekonomi Syariah Dengan Akad Musyarakah
Kata musyarakah di dalam bahasa Arab berasal dari kata syaraka yang artinya pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang ditentukan. Musyarakah dapat juga di artikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau keahliannya dengan kesepakan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama.
Para Ulama dari Mazhab Hanafi mendefinisikan musyarakah sebagai akad di antara rekanan/partner pada modal dan profit, disebut juga sebagai syirkah al-aqad atau contractual partnership.
Para Ulama dari Mazhab Shafi’i mendefinisikan musyarakah sebagai konfirmasi dari hak bersama dari dua orang atau lebih terhadap sebuah properti atau di sebut juga syirkah al-mulk.
Para Ulama dari Mazhab Hanbali mendefinisikan musyarakah sebagai hak bersama dan kebebasan untuk menggunakan hak tersebut.
Sedangkan para uLama dari Mazhab Maliki mendefiniskannya sebagai pemberian izin untuk bertransaksi, di mana setiap orang dari pada rekanan tersebut mendapat izin untuk melakukan transkasi dengan menggunaka properti bersama, sementara itu pada saat yang bersamaan masih memiliki hak untuk bertransaksi pada pihka lain dengan menggunakan properti yang sama.
Dari semua definisi-definisi musyarakah tersebut di atas, definisi dari mazhab Hanafilah yang lebih bisa menjelaskan essensi dari transaksi modern mengenai kontrak kerjasama usaha/ bisnis partnership, dimana bentuk kerjasamanya adalah profit-and-loss-sharing (PLS). Pada sistim kerjasama PLS ini, untung dan rugi di tanggung bersama.


Legalitas dari Musyarakah
Sumber legalitas dari Musyarakah adalah Al-Qur’an dan Sunnah:
1.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al Maidah, ayat 2:
“tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa”.
Maksud dari pada ayat ini adalah Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolong menolong dan bersama-sama berusaha untuk suatu tujuan yang baik , dengan kata lain Musyarakah adalah sebuah bentuk usaha atas dasar saling tolong-menolong antara sesama manusia dengan tujuan mendapatkan profit/laba, oleh sebab itu Prinsip dari musyarakah ini sangat dianjurkan dalam agama Islam.
2.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al-Sad ayat 24 :
“ dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali kepada orang–orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini”.
Penggalan dari ayat Al-Qur’an ini mendukung keberadaan prinsip dari pada musyarakah, dimana setiap partner dalam bisnis haruslah mempunya akhlak yang baik pada saat melakukan usaha bisnisnya.
3.Sunnah: Nabi Muhammad SAW dalam bentuk hadist qudsi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:
“ Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya”.
Hadist ini memberikan indikasi bahwa Allah akan selalu menjaga setiap bisnis partner beserta usaha/bisnis bersama mereka. Untuk itu setiap Muslim dianjurkan untuk dapat melakukan kerjasama bisnis, dengan catatan setiap mitra/partner adalah orang yang jujur dan menghormati hak masing-masing dari para mitra bisnisnya.

Syarat dan ketentuan dari musyarakah,
Syarat dari akad, yaitu ketiga rukun akad harus terpenuhi:
1. Sighah / Ijab dan qabul
2. Pihak-pihak yang berkontrak
3. Subject matter/Modal dan kerja
Ketentuan mengenai modal:
1.Kontribusi modal dapat berbentuk tunai, emas,perak atau benda lain yang nilai nya sama dengan tunai,emas atau perak. Jumhur Ulama telah sepakat akan hal ini dan tidak ada perdebatan mengenai modal untuk aqad musyarakah ini.
2.Modal dapat berbentuk komoditi, properti atau equipment, dapat pula berbentuk intangible right atau trademark, dan hak yang serupa dengan catatan nilai dalam bentuk tunai nya sama dengan yang sudah di sepakati di antara partner/mitra bisnis.
Para Ulama dari Mazhab Shafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa modal harus di campur agar tidak terjadinya perlakuan hak istimewa dalam pengelolalan bisnis diantara para mitra.
Sedangkan para ulama Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan kondisi ini apabila modal dalam bentuk tunai, sementara Para Ulama Mazhab Hanbali tidak menentukan keharusan untuk pencampuran modal.






Jenis-jenis akad musyarakah
Musyarakah di bagi dalam 2 jenis: syirkah al-inan atau unequal-shares partnership, dan syirkah al-mufawadah atau equal-shares partnership.
1. Syirkah al-Inan, dimana dua orang atau lebih memberikan penyertaan modalnya dengan porsi yang berbeda, dengan bagi hasil keuntungan yang di sepakati bersama, dan kerugian yang di derita akan di tanggung sesuai dengan besarnya porsi modal masing-masing. Dalam hal pekerjaan dan tanggung jawab dapat di tentukan dengan kesepakatan bersama dan tidak tergantung dari porsi modalnya. Begitu juga dengan keuntungan yang di dapat, tidak tergantung dari porsi modal, tapi disesuaikan dengan perjanjian dimuka.
Setiap mitra pada syirkah al-inan ini bertindak sebagai wakil daripada mitra yang lainnya dalam hal modal dan pekerjaan yang di lakukan untuk keperluan transaksi bisnisnya. Setiap mitra tidak saling memberikan jaminan pada masing masing mitra bisnisnya. Akad musyarakah ini tidak mengikat dan pada saat tertentu, setiap partner/mitra bisnis berhak memutuskan untuk mengundurkan diri dan membatalkan kontrak kerjasama ini dan menjual sahamnya kepada mitranya atau pihak yang lain yang bersedia menjadi mitra baru dari usaha bisnis tersebut.
2.Syirkah al-mufawadah, pada musyarakah jenis ini, setiap partner menyertakan modal yang sama nilainya, mendapatkan profit sesuai dengan modalnya, begitu juga dengan kerugian, ditanggung bersama-sama sesuai dengan modalnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa setiap partner saling menjamin/garansi bagi partner yang lainnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi dan Zaidi memandang ini sebagai bentuk partnership yang legal. Sementara para ulama dari mazhab Shafi’i dan Hanbali memandang bahwa yang dipahami oleh mazhab Hanafi adalah illegal dan tidak mendasar. Pada applikasi modern jenis syirkah ini dapat diimplementasikan sepanjang hak dan kewajiban dari masing-masing partner disebutkan pada perjanjian kontrak kerjasamanya. Sesungguhnya syirkah jenis mufawadah sangat sulit diapplikasikan karena mulai dari modal, kerja dan keahlian dari setiap partner dalam mengelola bisnis harus semuanya sama porsinya.
Dilihat dari modal dan jenis pekerjaannya, Musyarakah dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok:
1.shirkah al-amwal: modal dalam bentuk uang dimana setiap partner menempatkan dananya untuk keperluan investasi pada suatu perusahaan komersil.
2.shirkah al-amal: modal dalam bentuk kerja, dimana dua orang seprofesi bekerjasama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan mengambil keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya: kerjasama dua orang penjahit dalam menerima pekerjaan untuk menjahit seragam kantor.
3.shirkah al-wujuh: modal dalam bentuk reputasi atau keahlian dalam bisnis, dimana dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal sama sekali membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual kembali pada pihak lain secara tunai. Keuntungan dari hasil penjualan tesebut di bagi bersama.
Musyarakah dapat juga di applikasikan ke dalam skema pembiayaan Bank, diantaranya adalah:
1. Pembiayaan Projek,
Musyarakah dapat di lakukan pada sebuah projek yang sebagian modalnya dibiayai oleh bank dan setelah projek itu selesai bank dapat melepas kemitraannya dan menjual kembali bagian dari sahamnya kepada nasabah.
2. Pembiayaan L/C
Musyarakah dapat pula digunakan untuk pembiayaan export atau import dengan menggunakan letter of credit atau L/C.
3. Modal Kerja/working capital
Musyarakah dapat digunakan juga untuk modal kerja sebuah usaha atau bisnis.
Distribusi Profit/laba
Ada beberapa syarat dan ketentuan dalam hal pembagian keuntungan dari akad Musyarakah:
1. Proporsi profit/laba diantara mitra harus disepakati bersama dimuka dan dituangkan dalam akad.
2. Profit rasio harus ditentukan berdasarkan hasil dari keuntungan yang nyata dan tidak harus tergantung dari besarnya modal yang telah diinvestasikan oleh masing-masing mitra bisnis.
3. Tidak boleh dalam bentuk nilai yang pasti atau fixed amount tetapi harus dalam bentuk persentase.
Dalam pembagian profit ini, para Ulama dari Mazhab Maliki dan Shafi’i mempunyai pandangan bahwa sangatlah penting agar legalitas dari Musyarakah ini terjaga apabila pembagian profit sesuai dengan proporsi modal yang di setorkan, misalnya kalau modalnya 30% maka pendapatan profitnya juga harus 30%. Namun Para Ulama dari Mazhab Hanbali mempunyai pandangan yang berbeda, dimana mereka mengatakan bahwa rasio pendapatan keuntungan boleh saja berbeda persentasenya dari modal yang disetor, sepanjang hal itu disepakati bersama oleh semua bisnis partnernya.
Sementara itu, para Ulama dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rasio laba/profit ratio boleh tidak sama dengan rasio modal pada kondisi yang normal. Apabila salah seorang bisnis partner mensyaratkan di dalam akad bahwa beliau tidak akan turut serta dalam mengelola bisnis tersebut, yang hanya akan menjadi sleeping partner dan hanya menyetorkan modal nya saja, maka bagian dari laba yang akan di dapat nya hanya sebatas proporsi modalnya saja/persentasenya sesuai dengan modal yang di setorkan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan