Ahad, 24 April 2011

Hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta warisan


Hak dan kedudukan antara anak angkat dan orang tua angkat terhadap harta warisan

Keberadaan anak angkat di tengah masyarakat adat yang dilakukan oleh keluarga tertentu, nampaknya menjadi fenomena yang cukup menarik untuk dapat diperbincangkan dalam khasanah keilmuan dewasa ini. Anak merupakan amanat dari Tuhan yang maha kuasa, yang diberikan agar dapat dipelihara secara lahir dan bathin oleh keluarga. Seorang anak memang layak hidup dengan segala kebutuhan yang diusahakan oleh kedua orang tua kandung, karena memang sudah menjadi tanggungjawabnya. Namun demikian, keadaan tersebut sering kali tidaklah dapat dirasakan oleh beberapa anak yang mungkin karena salah satu atau kedua orang tuanya telah tiada. Kemungkinan ini menimbulkan keadaan hidup si anak tidak lagi selayak anak yang lain, yang masih mempunyai orang tua kandung. Keadaan seperti ini, dapat pula terjadi dengan adanya kemungkinan karena kedua orang tua kandung memang tidak mampu secara ekonomi membiayai hidup si anak.
Beberapa sebab lain dapat pula terjadi, sehingga oleh keluarga lain kemudian diambil untuk dijadikan anak angkat. Pengangkatan anak oleh keluarga tertentu pada akhirnya mempunyai akibat-akibat yang mungkin terjadi di kemudian hari Keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan antara satu dengan yang lain. Sehingga, pada saatnya anak angkat dapat diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapatkan harta orang tua angkat setelah meninggal. Inilah akibat yang dimaksud terjadi di kemudian hari. Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa keberadaan anak angkat tersebut di atas mempunyai kedudukan terhadap harta warisan. Menurut hukum adat Jawa, meskipun dengan pengangkatan anak tidaklah memutuskan hubungan si anak dengan orang tua kandung dan anak angkat tidak pula menjadi anak kandung bagi orang tua angkat, namun anak angkat berhak atas harta warisan dari keduanya yaitu orang tua kandung dan juga dari orang tua angkat. Sedang menurut hukum Islam, meskipun secara jelas Islam tidak dapat menerima keberadaan anak angkat atas kedudukannya terhadap harta warisan orang tua angkat. Akan tetapi, KHI yang notabenenya sebagai hukum tertulis yang diberlakukan sebagai pedoman khusus bagi umat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum termasuk mengenai kedudukan anak angkat tersebut, pada pasal 209 KHI menjelaskan bahwa anak angkat berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat. Hal tersebut di atas, menjadi permasalahan yang perlu dijawab secara jelas mengenai apa alasan-alasan kedua sistem hukum yaitu hukum adat Jawa dan KHI memberikan harta terhadap anak angkat. Jika melihat dari mana harta yang diberikan kepada anak angkat, serta jumlah yang diberikan menurut hukum adat Jawa maupun KHI, maka kiranya permasalahan ini dapat ditelusuri secara terperinci dengan mencari hakikat yang terdalam untuk mejawabnya. Di dalam hukum adat terdapat nilai-nilai universal, dan corak-corak yang dimiliki sebagai landasan hukum, yang kesemuanya itu mencerminkan diri dari hukum adat itu sendiri termasuk hukum adat Jawa. corak-corak khas yang dimaksud adalah kebiasaan hidup tolong menolong dan bantu-membantu. Kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum adat juga berdasarkan keadilan dan kebenaran yang hendak dituju, yang wajib merupakan kebenaran dan keadilan yang dicerminkan oleh perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat atau masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam hukum Islam terdapat asas keadilan dan keseimbangan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan sikap dan tingkah laku manusia yang hidup dalam masyarakat, terpancar dalam bentuk nilai-nilai, hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Asas keadilan dan keseimbangan, mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban; antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Keadilan di dalam hukum baik yang terdapat pada hukum adat Jawa maupun KHI menjadi titik yang terakhir untuk mendapatkan hakikat yang terdalam mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan seperti dalam permasalahannya. Dengan demikian, penelitian ini akan mampu menjawab permasalahan secara jelas tanpa adanya ketimpangan.






Kedudukan anak angkat berdasarkan Putusan Pengadilan
Kedudukan anak angkat dalam masalah warisan berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 307/Pdt./1989/PT.Smg adalah bersumber dari hukum adat, khususnya hukum adat Jawa. Dikarenakan mengenai anak angkat dalam penulisan ini bersumber dari adat Jawa, maka pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan hukum atau kekeluargaan dengan orangtua kandungnya. Anak angkat dalam hukum adat Jawa memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung mengenai kewarisannya yaitu mendapatkan bagian warisan karena telah dianggap keturunan sendiri oleh orangtua angkat tersebut, akan tetapi pembagian warisannya sesuai dengan keinginan dari orangtua angkatnya. Matra anak angkat berkedudukan mempunyai hukum yang tetap mengenai hal kewarisannya apabila anak angkat itu telah diakui oleh Pengadilan Tinggi setempat dan dari Hukum Adat masyarakat setempat yang segala sesuatunya pada saat melakukan pengangkatan anak angkat tersebut berhak dalam kewarisan keluarga angkatnya atau tidak sesuai kesepakatan dengan orangtua angkatnya.
Akibat hukum ini bagi anak angkat terhadap hukum warisnya adalah anak angkat hanya akan mewarisi harta gono-gini bersama-sama dengan ahli waris lainnya. Akan tetapi anak angkat tidak berhak atas harta asal dari orangtua angkatnya, sebab ia juga akan menjadi ahli waris orangtua kandungnya. Jadi dalam Hukum Adat dikenal dengan sebutan bahwa anak angkat memperolah ”air dari dua sumber” sebab disamping sebagai ahli waris orangtua kandungnya, ia juga menjadi ahli waris atas harta gono-gini orangtua angkatnya. Dari segi ajaran Islam mengenai anak angkat dalam hukum warisnya selalu mengikuti perkembangan kehidupan sesuai dengan dinamika kehidupan itu. Oleh sebab itu dalam kehidupan sesuai dengan dinamika kehidupan itu. Oleh sebab itu dalam kehidupan selanjutnya bisa saja anak angkat diperhatikan dari segi agama Islam. Salah satunya telah dibuktikan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengatur mengenai bagian warisan untuk anak angkat sebagai wasiat wajibah. Maka sebab itu, dapat disimpulkan mengenai akibat hukum bagi anak angkat terhadap hukum warisnya adalah sebagai berikut : Anak angkat berhak atas harta gono-gini orangtua angkatnya dan tidak termasuk harta asal orangtua angkatnya, Anak angkat tetap berhak atas harta warisan dari orangtua kandungnya. Anak angkat mendapatkan harta waris orangtua kandung dan juga orangtua angkat.

Dalam KHI pasal 195 dinyatakan bahwa wasiatkepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Jumlahnya hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari warta warisan, kecuali apabila semua ahli wariris setuju boleh lebih. Dan pernyataan persetujuan tersebut harus dibuat secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris.
Ketentuan-ketentuan mengenai perlaksanaan wasiat ini diatur dalam KHI yang termuat dalam pasal 209. Di antara pasal tersebut ini, ada satu pasal yang isinya dianggap merupakan satu pembaharuan hokum Islam di Indonesia, yaitu ketentuan dari pasal 209 yang berisi “wasiat wajibah”.
Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai kuasa atau aparat Negara untuk memaksa atau member putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa wasiat wajibah itu adalah seorang yang meninggal, baik ia wasiat atau pon tidak berwasiat maka ia dianggap wasiat menurut hokum menurut orang tertentu.
KHI  menetapkan maksud dari orang tertentu yang disebut dalam pengertian diatas adalah anak angkat dan orangtua angkat. Hal ini di rumuskan dan ditetapkan dalam pasal 209 debgan redaksi sebagai berikut:
(1)   Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan 193 tersebut, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat wajibah sebanyak-banyak 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
(2)   Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Ekonomi Syariah Dengan Akad Musyarakah


Ekonomi Syariah Dengan Akad Musyarakah
Kata musyarakah di dalam bahasa Arab berasal dari kata syaraka yang artinya pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang ditentukan. Musyarakah dapat juga di artikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau keahliannya dengan kesepakan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama.
Para Ulama dari Mazhab Hanafi mendefinisikan musyarakah sebagai akad di antara rekanan/partner pada modal dan profit, disebut juga sebagai syirkah al-aqad atau contractual partnership.
Para Ulama dari Mazhab Shafi’i mendefinisikan musyarakah sebagai konfirmasi dari hak bersama dari dua orang atau lebih terhadap sebuah properti atau di sebut juga syirkah al-mulk.
Para Ulama dari Mazhab Hanbali mendefinisikan musyarakah sebagai hak bersama dan kebebasan untuk menggunakan hak tersebut.
Sedangkan para uLama dari Mazhab Maliki mendefiniskannya sebagai pemberian izin untuk bertransaksi, di mana setiap orang dari pada rekanan tersebut mendapat izin untuk melakukan transkasi dengan menggunaka properti bersama, sementara itu pada saat yang bersamaan masih memiliki hak untuk bertransaksi pada pihka lain dengan menggunakan properti yang sama.
Dari semua definisi-definisi musyarakah tersebut di atas, definisi dari mazhab Hanafilah yang lebih bisa menjelaskan essensi dari transaksi modern mengenai kontrak kerjasama usaha/ bisnis partnership, dimana bentuk kerjasamanya adalah profit-and-loss-sharing (PLS). Pada sistim kerjasama PLS ini, untung dan rugi di tanggung bersama.


Legalitas dari Musyarakah
Sumber legalitas dari Musyarakah adalah Al-Qur’an dan Sunnah:
1.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al Maidah, ayat 2:
“tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa”.
Maksud dari pada ayat ini adalah Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolong menolong dan bersama-sama berusaha untuk suatu tujuan yang baik , dengan kata lain Musyarakah adalah sebuah bentuk usaha atas dasar saling tolong-menolong antara sesama manusia dengan tujuan mendapatkan profit/laba, oleh sebab itu Prinsip dari musyarakah ini sangat dianjurkan dalam agama Islam.
2.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al-Sad ayat 24 :
“ dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali kepada orang–orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini”.
Penggalan dari ayat Al-Qur’an ini mendukung keberadaan prinsip dari pada musyarakah, dimana setiap partner dalam bisnis haruslah mempunya akhlak yang baik pada saat melakukan usaha bisnisnya.
3.Sunnah: Nabi Muhammad SAW dalam bentuk hadist qudsi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:
“ Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya”.
Hadist ini memberikan indikasi bahwa Allah akan selalu menjaga setiap bisnis partner beserta usaha/bisnis bersama mereka. Untuk itu setiap Muslim dianjurkan untuk dapat melakukan kerjasama bisnis, dengan catatan setiap mitra/partner adalah orang yang jujur dan menghormati hak masing-masing dari para mitra bisnisnya.

Syarat dan ketentuan dari musyarakah,
Syarat dari akad, yaitu ketiga rukun akad harus terpenuhi:
1. Sighah / Ijab dan qabul
2. Pihak-pihak yang berkontrak
3. Subject matter/Modal dan kerja
Ketentuan mengenai modal:
1.Kontribusi modal dapat berbentuk tunai, emas,perak atau benda lain yang nilai nya sama dengan tunai,emas atau perak. Jumhur Ulama telah sepakat akan hal ini dan tidak ada perdebatan mengenai modal untuk aqad musyarakah ini.
2.Modal dapat berbentuk komoditi, properti atau equipment, dapat pula berbentuk intangible right atau trademark, dan hak yang serupa dengan catatan nilai dalam bentuk tunai nya sama dengan yang sudah di sepakati di antara partner/mitra bisnis.
Para Ulama dari Mazhab Shafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa modal harus di campur agar tidak terjadinya perlakuan hak istimewa dalam pengelolalan bisnis diantara para mitra.
Sedangkan para ulama Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan kondisi ini apabila modal dalam bentuk tunai, sementara Para Ulama Mazhab Hanbali tidak menentukan keharusan untuk pencampuran modal.






Jenis-jenis akad musyarakah
Musyarakah di bagi dalam 2 jenis: syirkah al-inan atau unequal-shares partnership, dan syirkah al-mufawadah atau equal-shares partnership.
1. Syirkah al-Inan, dimana dua orang atau lebih memberikan penyertaan modalnya dengan porsi yang berbeda, dengan bagi hasil keuntungan yang di sepakati bersama, dan kerugian yang di derita akan di tanggung sesuai dengan besarnya porsi modal masing-masing. Dalam hal pekerjaan dan tanggung jawab dapat di tentukan dengan kesepakatan bersama dan tidak tergantung dari porsi modalnya. Begitu juga dengan keuntungan yang di dapat, tidak tergantung dari porsi modal, tapi disesuaikan dengan perjanjian dimuka.
Setiap mitra pada syirkah al-inan ini bertindak sebagai wakil daripada mitra yang lainnya dalam hal modal dan pekerjaan yang di lakukan untuk keperluan transaksi bisnisnya. Setiap mitra tidak saling memberikan jaminan pada masing masing mitra bisnisnya. Akad musyarakah ini tidak mengikat dan pada saat tertentu, setiap partner/mitra bisnis berhak memutuskan untuk mengundurkan diri dan membatalkan kontrak kerjasama ini dan menjual sahamnya kepada mitranya atau pihak yang lain yang bersedia menjadi mitra baru dari usaha bisnis tersebut.
2.Syirkah al-mufawadah, pada musyarakah jenis ini, setiap partner menyertakan modal yang sama nilainya, mendapatkan profit sesuai dengan modalnya, begitu juga dengan kerugian, ditanggung bersama-sama sesuai dengan modalnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa setiap partner saling menjamin/garansi bagi partner yang lainnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi dan Zaidi memandang ini sebagai bentuk partnership yang legal. Sementara para ulama dari mazhab Shafi’i dan Hanbali memandang bahwa yang dipahami oleh mazhab Hanafi adalah illegal dan tidak mendasar. Pada applikasi modern jenis syirkah ini dapat diimplementasikan sepanjang hak dan kewajiban dari masing-masing partner disebutkan pada perjanjian kontrak kerjasamanya. Sesungguhnya syirkah jenis mufawadah sangat sulit diapplikasikan karena mulai dari modal, kerja dan keahlian dari setiap partner dalam mengelola bisnis harus semuanya sama porsinya.
Dilihat dari modal dan jenis pekerjaannya, Musyarakah dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok:
1.shirkah al-amwal: modal dalam bentuk uang dimana setiap partner menempatkan dananya untuk keperluan investasi pada suatu perusahaan komersil.
2.shirkah al-amal: modal dalam bentuk kerja, dimana dua orang seprofesi bekerjasama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan mengambil keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya: kerjasama dua orang penjahit dalam menerima pekerjaan untuk menjahit seragam kantor.
3.shirkah al-wujuh: modal dalam bentuk reputasi atau keahlian dalam bisnis, dimana dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal sama sekali membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual kembali pada pihak lain secara tunai. Keuntungan dari hasil penjualan tesebut di bagi bersama.
Musyarakah dapat juga di applikasikan ke dalam skema pembiayaan Bank, diantaranya adalah:
1. Pembiayaan Projek,
Musyarakah dapat di lakukan pada sebuah projek yang sebagian modalnya dibiayai oleh bank dan setelah projek itu selesai bank dapat melepas kemitraannya dan menjual kembali bagian dari sahamnya kepada nasabah.
2. Pembiayaan L/C
Musyarakah dapat pula digunakan untuk pembiayaan export atau import dengan menggunakan letter of credit atau L/C.
3. Modal Kerja/working capital
Musyarakah dapat digunakan juga untuk modal kerja sebuah usaha atau bisnis.
Distribusi Profit/laba
Ada beberapa syarat dan ketentuan dalam hal pembagian keuntungan dari akad Musyarakah:
1. Proporsi profit/laba diantara mitra harus disepakati bersama dimuka dan dituangkan dalam akad.
2. Profit rasio harus ditentukan berdasarkan hasil dari keuntungan yang nyata dan tidak harus tergantung dari besarnya modal yang telah diinvestasikan oleh masing-masing mitra bisnis.
3. Tidak boleh dalam bentuk nilai yang pasti atau fixed amount tetapi harus dalam bentuk persentase.
Dalam pembagian profit ini, para Ulama dari Mazhab Maliki dan Shafi’i mempunyai pandangan bahwa sangatlah penting agar legalitas dari Musyarakah ini terjaga apabila pembagian profit sesuai dengan proporsi modal yang di setorkan, misalnya kalau modalnya 30% maka pendapatan profitnya juga harus 30%. Namun Para Ulama dari Mazhab Hanbali mempunyai pandangan yang berbeda, dimana mereka mengatakan bahwa rasio pendapatan keuntungan boleh saja berbeda persentasenya dari modal yang disetor, sepanjang hal itu disepakati bersama oleh semua bisnis partnernya.
Sementara itu, para Ulama dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rasio laba/profit ratio boleh tidak sama dengan rasio modal pada kondisi yang normal. Apabila salah seorang bisnis partner mensyaratkan di dalam akad bahwa beliau tidak akan turut serta dalam mengelola bisnis tersebut, yang hanya akan menjadi sleeping partner dan hanya menyetorkan modal nya saja, maka bagian dari laba yang akan di dapat nya hanya sebatas proporsi modalnya saja/persentasenya sesuai dengan modal yang di setorkan.